JERNIH.ID, Jakarta - Sejak dilantik sebagai Presiden RI untuk periode keduanya pada Oktober 2020, bisa dikatakan Ir. Jokowi Widodo (Jokowi) memasuki fase terberatnya. Ada beberapa isu krusial, baik isu internasional maupun isu domestic, yang harus direspon dengan tepat oleh Jokowi.
Pertama, “psywar” antara China dan Amerika Serikat dengan wacana “perang dagang” membuat Indonesia harus menentukan sikap kedaulatannya sendiri yang bebas dan aktif sebagaimana termaktub didalam konstitusi. Permasalahan “Laut China Selatan”yang kembali “memanas” dan tak kunjung usai membuat Indonesia akan terseret arus persengketaan karena letak geografis Indonesia masuk dalam area Laut China Selatan.
Posisi Indonesia mau tidak mau memiliki tiga opsi untuk turut andil dalam konflik tersebut. Pertama ikut masuk dalam salah satu kubu yang bertikai. Kedua bermain didalam “grey area”. Ketiga mengambil jalan tengah menjadi “juru runding” dalam pertikaian. Dan yang terpenting adalah jangan sampai Indonesia menjadi kancah “peperangan” diantara dua blok kekuatan tersebut, yakni China dan Amerika Serikat.
Jangan sampai Indonesia terpecah berkeping-keping seperti Korut dan Korsel. Bahkan paling miris seperti Balkan atau jika mengambil contoh terkini seperti Afganistan, Suriah dan Irak.
Sisi lain pandemi Covid 19 yang mulai diumumkan pada bulan Maret 2020, membuat Indonesia masuk ke jurang resesi ekonomi. Kuartal III pada November Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mendekati minus 3,5 %. Kondisi ini bisa dianggap sebagai kegagalan pemerintah dan dapat menimbulkan “social distrust” dari seluruh masyarakat.
Sejarah dunia juga membuktikan peperangan dan perubahan social, bahkan revolusi banyak terjadi akibat resesi ekonomi yang dialami sebuah negara. Perang Dunia I dan Perang Dunia II sebagai contoh mengubah wajah dunia karena kedua perang tersebut mengakibatkan resesi ekonomi dunia yang parah. Bahkan Revolusi Kaum Bolshevik di Rusia, Revolusi Islam di Iran, sampai tumbangnya Soekarno (orde lama) dan Soeharto (orde baru) dari resesi ekonomi yang dihadapi.
Kita menyaksikan bagaimana sosok Presiden Jokowi dengan sekuat tenaganya selama masa pandemi melanda Indonesia mencoba mewujudkan visi dan misinya untuk membangun kemajuan, kesejahteraan serta kedaulatan dan persatuan Bangsa Indonesia. Namun acapkali kita saksikan visi dan misi presiden terkadang tidak di“ejawantahkan” secara maksimal oleh para pembantunya,terutama para Menteri yang minim “sense of social and politics’-nya.
Tidak bisa dipungkiri, kegaduhan-kegaduhan yang terjadi selama ini justru banyak dilakukan oleh para pembantu presiden. Tak henti-hentinya para pembantu presiden di tengah pandemi membuat tindakan “blunder” yang dinilai masyarakat seakan mempertontonkan sebuah “kegilaan”.
Selama masa pandemic para pembantu presiden seakan sangat lambat dan lemah dalam mengkonsolidasikan satuan kerjanya masing-masing. Padahal yang dibutuhkan masyarakat di tengah pandemi adalah rasa aman, nyaman dan ketenangan sehingga melahirkan sikap optimisme dari seluruh rakyat Indonesia.
Kebijakan finalisasi Omnibuslaw atau Undang-Undang Cipta Kerja adalah salah satu kebijakan “bola panas” yang dilakukan oleh pemerintah demi tujuan menggerakan roda perekonomian Bangsa Indonesia. Prinsip dasarnya tidak ada satupun negara di dunia ini yang bisa “survive” tanpa investasi. Tanpa kita sadari, dalam ekonomi global kita bersaing dengan negara-negara lain untuk mendapati investasi guna menggerakan ekonomi nasionalnya masing-masing.
Namun akibat minimnya “sosialisasi” tentang Omnibuslaw membuat kebijakan tersebut ditunggangi oleh “hoax” yang mencoba mendelegitimasi pemerintahan. Hal tersebut “diperkeruh” dengan kesalahan ketik pada draft akhir Omnibuslaw/UU Cipta Kerja dan “Surat Perintah” kepada elemen mahasiswa untuk menyudahi aksi-aksinya. Selain itu peran jubir kepresidenan “salah kaprah” dalam mengkomunikasikan banyak hal, termasuk kebijakan Omnibuslaw.
Lagi-lagi “blunder” dilakukan oleh para pembantu presiden, dan tidak kalah mirisnya, yang kita saksikan beberapa hari lalu yaitu pembagian 20.000 masker Satgas Covid-19 untuk suatu acara yang tidak seharusnya diselenggarakan di Petamburan, Jakarta Pusat.
Disadari atau tidak,“blunder” yang terjadi diatas menambah point “downgrade” kepada Presiden Jokowi, sehingga banyak wacana yang muncul di masyarakat bahwa “negara dikelola dengan tidak profesional”. Lalu akan muncul pertanyaan, sampai kapan hal ini terus terjadi? Atau memang ada operasi “dirty work” yang terjadi didalam ”lingkaran presiden” yang bertujuan untuk mendelegitimasi Presiden Jokowi.
Maka itu atas situasi yang berkembang dan terjadi saat ini, kami atas nama ForumStrategis Arah Bangsa (FOSTRAB) yang terdiri dari Organ-Organ Penggerak Jokowi menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Meminta kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo untuk mengambil langkah-langkah strategis dan taktis serta ketegasan obyektif dalam menghadapi situasi nasional dan internasional.
2. Meminta kepada Presiden Ir. H. Joko Widodountuk mengevaluasi dan mengganti menteri, stafsus, dan perangkat lain yang kinerjanya sudah tidak lagi sesuai dengan visi dan misi presiden.
3. Meminta kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo untuk lebih cermat dan selektif dalam menerima informasi dan masukan dari para pembantu presiden.
4. Meminta kepada Presiden Ir. H. Joko Widodosebagai Panglima Tertinggi untuk menertibkan TNI/POLRI termasuk aparaturnegarayang melakukan manuver-manuver sehinggadapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
5. Meminta kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo untuk melakukan komunikasi intensif dengan tokoh agama, ormas keagamaan, dan masyarakat adat demi menjaga keharmonisan dalam berbangsa dan bernegara.
6. Meminta kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo untuk tidak tunduk atas tekanan negara manapun, bahwa Indonesia sebagai Negara berdaulat dan menganut politik bebas aktif yang telah diatur dalam konstitusi Republik Indonesia.
7. Mengajak seluruh organ penggerak dan para relawan JKW untuk mengkonsolidir dan merapatkan barisan demi mengawal visi dan misi presiden sampai akhir periode 2024.
8. Mengajak seluruh masyarakat untuk mewaspadai provokasi dari entitas kelompok tertentu yang akan membuat kegaduhan sehingga berimbas pada perpecahan suku, agama dan ras (SARA).
"Demikian pernyataan sikap yang kami sampaikan, semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia selalu dilindungi dan diberkahi oleh Allah SWT," kata Koordinator Forum Strategis Arah Bangsa (FOSTRAB) Jamaluddin Malik, Selasa (17/11/2020) kemarin.