JERNIH.ID, Jakarta - Seorang ibu asal Sleman, DI Yogyakarta, Santi Warastuti menggelar aksi di Bundaran HI, Jakarta Pusat, saat Car Free Day (CFD) pada Minggu (26/6/2022).
Bersama anaknya yang duduk di kursi roda, Santi mengingatkan ke publik bahwa dirinya telah menahun menunggu Mahkamah Konstitusi (MK) mengadili uji materi undang-undang demi legalisasi ganja untuk pengobatan (medis).
Dia meminta MK segera mengabulkan permohonannya tersebut agar bisa mengobati buah hatinya, Pika.
Santi mengaku telah melayangkan permohonan uji materi UU Narkotika bersama dua ibu lainnya ke MK pada November 2020. Permohonan itu teregistrasi dengan nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020. Mereka meminta agar MK mengizinkan penggunaan ganja dan narkotika golongan 1 lainnya untuk kebutuhan kesehatan atau terapi.
Buah hati Santi, Pika, menderita kelainan otak Japanese encephalitis dan membutuhkan ganja untuk pengobatan. Ia kerap mengalami kejang akibat kondisi tersebut.
Menurut Santi, kejang yang dialami Pika dapat diatasi dengan menggunakan ganja sebagai terapi. Hal itu ia ketahui dari temannya, Dwi, yang memiliki anak yang mengidap Cerebral palsy.
"Saya dengar banyak berita di luar ganja bisa mengurangi dan bahkan ada yang bisa zero kejang di luar. Tapi kan kita enggak bisa karena di sini belum legal. Jadi saya memohon kepada MK agar segera memberikan kepastian kepada kami," kata Santi dilansir dari CNN Indonesia, Minggu (26/6/2022).
Mengutip dari situs resmi MK, Santi dan pemohon lainnya mengajukan uji materi terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Dalam permohonan itu, mereka meminta legalisasi penggunaan ganja dan Narkotika Golongan I lainnya untuk kebutuhan pengobatan.
Santi membutuhkan minyak cannabis (CBD oil) demi memperbaiki kualitas kesehatan sang anak. Namun, di Indonesia, penggunaan ganja termasuk untuk kepentingan kesehatan dilarang. Sehingga, belum ada sedikitpun akses yang sah untuk mendapatkan minyak cannabis. Anaknya juga kesulitan mendapatkan terapi.
Sementara dua ibu lainnya memohon pengujian lantaran sang anak menderita Cerebral palsy. Salah satu ibu yakni Dwi Pertiwi pernah membawa sang anak ke negara bagian Victoria, Australia, untuk menjalani pengobatan. Setelah dilakukan terapi ganja setiap hari selama satu bulan, kondisinya pun membaik dan gejala kejangnya berhenti total.
Oleh sebab itu, pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I dinilai menimbulkan kerugian konstitusional kepada para ibu. Pelarangan ganja dinilai berpotensi menghalangi para ibu memperoleh pengobatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak-anak mereka.
"Faktanya, di banyak negara berdasarkan penelitian yang ada, pengobatan termasuk terapi terhadap penyakit tertentu yang menggunakan narkotika Golongan I telah ada dan digunakan. Berdasarkan hal tersebut, pelarangan narkotika Golongan I secara nyata telah menghilangkan pemanfaatan narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan," demikian tertulis dalam salah satu poin alasan permohonan.
Menurut pemohon, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a dan Pasal 7 UU 35/2009. Pasal 4 huruf a UU 35/2009 berbunyi: menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemudian Pasal 7 UU 35/2009 menyatakan narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a jo Pasal 7 UU 35/2009, jelas disebutkan bahwa narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi," bunyi poin permohonan.
Dalam permohonannya, para pemohon menyatakan beberapa jenis narkotika Golongan I dapat digunakan untuk pengobatan berdasarkan hasil penelitian yang telah diuji klinis dan diterapkan serta diakui di berbagai negara. Jenis-jenis narkotika itu antara lain ganja, Diacetilmorfina, dan opium. (*/JR1)