Loss Control Digital: Down Grade Nilai Moral Umat

Penulis: Redaksi - Kamis, 16 Oktober 2025 , 14:11 WIB
Prof. Dr. Mukhtar Latif Prof. Dr. Mukhtar Latif


Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif

(Isu Strategis Munas Ke-11 MUI Tahun 2025)

Isu Strategis Menuju Munas Ke-11 MUI Tahun 2025

Era digital menghadirkan kemajuan luar biasa di bidang komunikasi, ekonomi, dan keilmuan, tetapi sekaligus membawa fenomena loss control digital, hilangnya kendali umat terhadap nilai moral dan spiritual di tengah banjir informasi. Nilai-nilai Islam seperti kejujuran, kesantunan, dan adab, semakin tergeser oleh budaya instan, viral, dan hedonistik.

Dalam konteks ini, Munas Ke-11 Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2025 menjadi forum strategis nasional untuk menegaskan kembali fungsi moralitas Islam dalam ekosistem digital.

Sebagai Khadimul Ummah pelayan umat yang ikhlas, Imam al-Nawawi, dalam al-Majmu‘ Syarḥ al-Muhadhdhab
Beliau menulis bahwa ulama sejati adalah yang “yahdimu al-ummah bi al-‘ilm wa al-nashihah” , melayani umat melalui ilmu dan nasihat yang benar".
MUI bukan hanya pengeluar fatwa, tapi juga penentu arah etika publik berbasis maqāṣid syarī‘ah, menjaga agama (ḥifẓ ad-dīn), jiwa (ḥifẓ an-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ an-nasl), dan harta (ḥifẓ al-māl)¹.

Penelitian Islamic Digital Ethics (2021) menegaskan bahwa degradasi moral digital terjadi bukan karena teknologi itu sendiri, melainkan karena hilangnya kontrol nilai dan absennya panduan etis yang kuat di kalangan umat². Karena itu, MUI perlu menjadikan isu loss control digital sebagai agenda utama Munas Ke-11.

MUI vs Digital Syariah

Pertentangan antara MUI dan dunia digital bukan pertarungan antara agama dan teknologi, melainkan antara nilai dan algoritma. Dunia digital dikuasai oleh logika algoritmik kapitalistik: semakin kontroversial dan ekstrem, semakin tinggi engagement-nya. Sementara itu, Islam menuntut keadilan, kesantunan, dan keseimbangan.

Konsep Digital Syariah adalah jalan tengah — bagaimana prinsip maqāṣid syarī‘ah dijadikan moral architecture bagi teknologi.
MUI perlu menginisiasi:

1. Fatwa Digital Progresif tentang etika penggunaan AI, metaverse, dan big data;

2. Pedoman Etika Siber Islami untuk media sosial dan konten dakwah;

3. Sertifikasi Platform Halal Digital yang menjamin konten dan transaksi sesuai syariah³.

Kajian Chaudhary (2021) menyebut bahwa jika umat Islam tidak membangun Digital Sharia Ecosystem, maka moralitas mereka akan diatur oleh algoritma non-etis⁴. MUI harus memimpin rekayasa moral digital agar umat tidak menjadi “digital consumer” tanpa kendali spiritual.

Jenis-jenis Digital yang Menggerus Moral Umat

Fenomena down grade moral umat tampak dalam berbagai bentuk digital kontemporer:

1. Media Sosial dan Algoritma Polarisasi.
Sistem rekomendasi yang berbasis “like–share–comment” menumbuhkan budaya narsisme dan ujaran kebencian. Riset Kholili (2024) menunjukkan bahwa 68% konten dakwah viral di media sosial justru bersifat sensasional dan memicu emosi negatif⁵.

2. Game dan Hiburan Daring.
Industri game memanfaatkan psychological reinforcement yang mendorong kecanduan. Akibatnya, remaja Muslim banyak kehilangan waktu ibadah dan belajar.

3. Judi dan Riba Digital.
Aplikasi microloan dan trading platform sering kali mengandung unsur gharar dan riba, sehingga menggoyahkan prinsip ekonomi Islam⁶.

4. Big Data dan Iklan Mikro.
Data perilaku umat dijadikan alat manipulasi konsumsi, bahkan untuk komodifikasi spiritual.

5. Disinformasi Keagamaan.
Munculnya “ustaz instan digital” tanpa sanad keilmuan menyebabkan kaburnya otoritas ulama⁷.

6. Deepfake dan AI Keagamaan.
Konten palsu menyerupai tokoh agama dapat menciptakan kebingungan doktrinal dan krisis kepercayaan⁸.

Semua bentuk di atas menunjukkan betapa teknologi tanpa nilai adalah bencana moral. MUI harus menegakkan loss control digital dengan mengembalikan orientasi teknologi kepada kemanusiaan yang berakhlak.

Paradigma Khodimul Ummah MUI di Era Digital

Sebagai khodimul ummah (pelayan umat), MUI tidak cukup hanya mengeluarkan fatwa, melainkan harus menjadi arsitek moral digital. Paradigma ini menuntut MUI:

1. Sebagai Digital Moral Guardian: melakukan content supervision terhadap isu keagamaan digital dan mencegah penyebaran hoaks syar‘i.


2. Sebagai Producer of Ethical Content: membangun portal dakwah dan edukasi digital dengan estetika dan adab Islam.

3. Sebagai Mediator of Value and Technology: mempertemukan ulama, ilmuwan, dan teknokrat dalam merumuskan etika AI dan privasi data.

4. Sebagai Observer Institution: mendirikan Observatorium Akhlak Digital Indonesia (OADI) untuk memantau tren moral masyarakat⁹.

Dalam perspektif filosofis, khodimul ummah digital berarti MUI hadir dalam setiap denyut kehidupan virtual umat — bukan hanya mengawasi, tapi juga mengasuh dengan nilai.

Antisipasi MUI Kekinian dan Masa Depan (Perspektif Digital Syariah)

Strategi antisipatif loss control digital harus disusun dalam bingkai Digital Syariah Governance:

1. Fatwa dan Kebijakan Etika Digital
Fatwa tentang AI-generated content, metaverse worship, hingga deepfake ulama perlu disusun berbasis maqāṣid dan kajian psikososial umat.

2. Literasi Digital Islami
Kurikulum adab digital di pesantren, madrasah, dan masjid: etika berkomunikasi, manajemen waktu digital, dan kontrol diri virtual.

3. Kolaborasi dengan Platform Teknologi
MUI dapat bekerja sama dengan platform besar untuk mengembangkan fitur “mode takwa” atau ethical reminder system¹⁰.

4. Ekonomi Digital Syariah
Penguatan fintech halal, zakat digital, wakaf blockchain sebagai model ekonomi moral¹¹.

5. Riset dan Observatorium Digital Moral
Riset longitudinal dampak algoritma terhadap akhlak umat harus dibiayai oleh negara dan lembaga filantropi¹².

Langkah-langkah ini memastikan bahwa syariah tidak tertinggal dari teknologi, melainkan menuntun arah peradaban digital menuju kemaslahatan.

Penutup

Digitalisasi bukan ancaman bagi Islam, tetapi ujian bagi kekuatan moral umat. Jika teknologi dikendalikan oleh nilai, ia menjadi alat dakwah dan ibadah. Namun jika dibiarkan tanpa pengawasan nilai, ia akan menurunkan derajat akhlak dan mengguncang iman.

Munas Ke-11 MUI Tahun 2025 harus meneguhkan visi:

“Dari lembaga fatwa menjadi lembaga penjaga moral digital umat.”

Dengan paradigma Digital Syariah dan Khodimul Ummah Digital, MUI dapat memimpin bangsa menuju peradaban yang religius, beretika, dan berkeadaban tinggi, di dunia nyata maupun digital.

(Penulis merupakan Wakil Sekjen Wantim MUI Pusat)

Catatan Kaki dan Bacaan

1. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Beirut: Dar al-Kutub, 2022, hlm. 44.

2. Chaudhary, M. Y., Islamic Digital Ethics and Technology, Routledge, 2021, hlm. 18.

3. Majelis Ulama Indonesia, Fatwa No. 24 Tahun 2022 tentang Transaksi Aset Kripto Syariah, Jakarta: LBM MUI, 2022, hlm. 5–6.

4. Chaudhary, M. Y., Initial Considerations for Islamic Digital Ethics, 2020, hlm. 22.

5. Kholili, M., “Islamic Proselytizing in Digital Religion in Indonesia,” Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 5 No. 2 (2024), hlm. 33–35.

6. Idris, S. M., “Digital Gambling and Riba Mechanism in Online Games,” Jurnal Ekonomi Syariah Global, Vol. 6 No. 1 (2025), hlm. 58.

7. Ichwan, M. N., “Digitalization and the Shifting Religious Authority in Indonesia,” Jurnal Islamika Nusantara, Vol. 11 No. 1 (2024), hlm. 90.

8. Burr, C., The Ethics of Digital Well-Being, Oxford University Press, 2020, hlm. 214.

9. Rahman, A., Moralitas Digital Umat Islam di Era Society 5.0, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2023, hlm. 42.

10. Lubis, A. H., “Etika Siber dalam Perspektif Islam,” Jurnal Al-Manhaj, Vol. 18 No. 2 (2024), hlm. 121.

11. Saleh, F., Digital Zakat and Sharia Economy, Palgrave Macmillan, 2023, hlm. 66.

12. Nofandrilla, N., “Islamic Religiosity and Internet Consumption,” Journal of Contemporary Islamic Thought, Vol. 7 No. 1 (2025), hlm. 15.
------------
Jakarta, 16 Oktober 2025.



PT. Jernih Indonesia Multimedia - Jernih.ID