Oleh: Bayu Anugerah
Di tengah hiruk-pikuk Pilkada serentak, generasi muda berada di persimpangan sejarah—antara menjadi agen perubahan yang membentuk masa depan atau sekadar menjadi alat politik yang diperalat oleh kepentingan sesaat. Momen ini seharusnya menjadi panggung bagi mereka untuk mengekspresikan suara dan gagasan, bukan hanya menjadi penonton dalam skenario yang ditentukan oleh elit politik.
Sayangnya, keterlibatan generasi muda dalam politik sering kali terperangkap dalam narasi dangkal, di mana mereka lebih berfungsi sebagai alat kampanye ketimbang sebagai pemikir kritis. Sebagai generasi penerus bangsa, seharusnya mereka mampu menghadirkan nilai-nilai konstruktif dalam konstelasi politik, tetapi kenyataannya mereka lebih sering terjebak dalam dinamika negatif yang tidak memberikan arah yang jelas.
Di banyak negara, kita menyaksikan generasi muda mengukir peran penting dalam politik. Di Swedia, pemuda berpartisipasi aktif dalam diskusi kebijakan melalui organisasi seperti Youth Council. Di Prancis, gerakan "gilets jaunes" membangkitkan semangat anak muda untuk memperjuangkan keadilan sosial. Namun, di Indonesia, meski pemilih muda mencapai 31,23 persen, partisipasi mereka sering kali terjebak dalam statistik kosong. Suara generasi muda seharusnya menjadi kekuatan kolektif yang memicu perubahan, tetapi kenyataannya sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang bersifat temporer.
Meskipun Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan seharusnya mendorong partisipasi aktif, banyak anak muda terjebak sebagai relawan yang fokus pada kampanye adu domba, bukan pada pengembangan visi yang konstruktif. Budaya politik saat ini cenderung mengeksploitasi idealisme generasi muda untuk meraih suara, tanpa memberikan ruang bagi mereka untuk berinovasi dan berkontribusi secara substansif.
Salah satu tantangan paling mendesak adalah maraknya serangan di media sosial yang tidak konstruktif. Alih-alih menjadi alat untuk mobilisasi dan diskusi produktif, media sosial sering kali berubah menjadi arena untuk serangan pribadi dan fitnah. Hal ini menciptakan suasana toksik yang merusak kualitas diskursus politik, menjebak anak muda dalam perang kata-kata yang tidak produktif dan menyimpang dari isu-isu substansial.
Kondisi ini menunjukkan adanya masalah mendasar dalam budaya politik kita. Generasi muda, yang seharusnya menjadi agen perubahan, sering kali dipandang sebagai alat peraga oleh elit politik untuk meraih suara dengan cara yang tidak etis. Untuk mewujudkan perubahan yang fundamental, generasi muda harus menolak kampanye yang tidak berbasis pada visi yang jelas dan gagasan yang membangun. Jika terjebak dalam praktik kotor seperti memfitnah dan menyebarkan hoaks, karakter mereka yang seharusnya kritis dan konstruktif akan hilang.
Lebih jauh lagi, ketidakfokusan anak muda pada isu-isu substantif membuat mereka terjerumus dalam serangan pribadi yang tidak perlu. Fenomena siber bullying terhadap calon kepala daerah mencerminkan bagaimana generasi muda belum sepenuhnya berorientasi pada solusi untuk tantangan yang lebih mendesak. Mereka seharusnya berfungsi sebagai inovator yang menawarkan solusi konkret, bukan terjebak dalam polemik yang tidak produktif.
Saatnya generasi muda bertransformasi dari sekadar tim sukses menjadi agen perubahan yang menciptakan narasi positif. Mereka harus menempatkan integritas dan visi ke depan di atas segalanya, serta mengambil sikap tegas terhadap praktik politik yang tidak sehat. Generasi muda perlu berani menantang status quo dan memperjuangkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Kini adalah saat yang tepat untuk generasi muda tidak hanya berpartisipasi dalam politik sebagai alat peraga, tetapi juga mendefinisikan ulang keterlibatan mereka dengan pendekatan yang lebih konstruktif. Jika mereka ingin menjadi pemimpin masa depan, saatnya bertindak sebagai pemikir kritis dan inisiator perubahan. Hanya dengan langkah ini, generasi muda dapat menjadi kekuatan yang mengubah wajah politik Indonesia menuju arah yang lebih baik.