Amri Ikhsan Bahasa tidak hanya dipandang sebatas alat untuk berkomunikasi saja, akan tetapi jauh lebih luas. Bahasa mampu menjadi sumber inspirasi dan pendorong pembentukan sebuah budaya dan tindakan baik tindakan positif maupun negatif.
Kita lihat kasus cuitan FH Allahmu lemah, telah menyedot perhatian publik. Tidak dipungkiri. Sejak pipres 2019, polarisasi masih terjadi. Polarisasi ini mengkin tidak begitu kelihatan di dunia nyata, tapi begitu ‘terang benderang’ di dunia maya. Ini terlihat dari bahasa yang digunakan. Disatu sisi, ada pihak yang begitu ‘senang’ saat FH ditetapkan sebagai tersangka, tapi disisi lain, ada pihak yang begitu terpukul dengan penetapan status ini. “Perasaan batin’ terlihat dari bahasa yang gunakan, terbaca dari komen, status, tweet di media sosial.
Memang, bahasa adalah nafas dalam komunikasi, karena tidak ada komunikasi dalam situasi apapun yang lepas dari bahasa sebagai instrumennya Kress (1985: 28). Bahasa merupakan bagian penting dari kehidupan, bagian yang tidak terpisahkan.
Belum sempurna kehidupan seseorang tanpa bahasa, bisa dipastikan setiap gerak kehidupan manusia berhubungan dengan bahasa. Karena begitu akrabnya bahasa dan manusia, sebagian dari kita cenderung kurang menyadari pentingnya bahasa yang digunakan. Berbahasa ‘seenaknya’ tanpa memikirkan efek dari bahasa itu pada orang lain.
Banyak pendapat yang menyimpulkan bahwa bahasa berperan membentuk budaya sebuah bangsa, sebuah masyarakat, bahkan kebiasaan seseorang individu. Bahasa merupakan piranti sosial yang mampu menjadikan masyarakat memiliki identitas (Rahardjo, 2003). Melalui komunikasi baik didunia nyata maupun didunia maya, akan tergambar identitas dan karakter seseorang.
Bahasa dan identitas sangat berkaitan erat dengan penggunanya. Kata-kata yang terucap dari mulut seseorang atau ungkapan yang disampaikan di media sosial tertentu dapat memberikan gambaran karakter, kepribadian, sikap, dan pandangan hidup. Jika diksi atau pilihan kata yang digunakan cenderung kasar, maka bisa jadi karakter orang tersebut bersifat sama dengan kata yang pakai.
Sebaliknya, jika menggunakan bahasa yang santun, maka ia cenderung mempunyai karakter yang santun pula. Dengan demikian, bagi stakeholder perlu menjadikan bahasa sebagai perhatian khusus dan bila perlu ada usaha untuk memberi pencerahan dan kesadaran berbahasa yang baik dan santun kepada publik dan mampu menunjukkan citra diri dan karakter yang santun dan beradab.
Ketidaktepatan pilihan kata yang diungkapkan akan menghasilkan persepsi yang keliru. Kesalahan persepsi akan menjadi hambatan yang besar dalam proses komunikasi, bila hambatan yang ada tidak dikelola secara baik maka akan menimbulkan konflik, permusuhan, saling hujat, saling melapor kepihak berwajib dan membuat polemik berkepanjangan di dunia maya.
Kalau tidak ada usaha untuk memberikan ‘pembelajaran’ untuk berbahasa santun, pada akhirnya akan menjamur kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata kasar kepada seseorang yang dapat merusak jiwa dan kepribadian seseorang.
Lebih parahnya lagi, korban kekerasan simbolik cenderung mewarisi pengalaman kekerasan simboliknya yang alaminya (Sumarsno, 2002). Akibatnya, orang yang sudah terbiasa dengan berkata kasar, menulis dengan tidak santun akan cenderung mempunyai kepribadian kasar, emosional, mau menang sendiri, dll.
Budaya kekerasan yang dilakukan melalui bahasa apalagi disampaikan melalui media sosial dirasakan jauh lebih membekas dibanding dengan kekerasan yang dilakukan secara fisik, karena kekerasan melalui bahasa yang disampaikan melalui media sosial memiliki jejak digital yang dibisa dibaca kapan saja, bisa diungkit kapan saja. Tentu ini akan terus mempengaruhi hubungan silaturrahmi. Bahasa telah menjadi alat untuk mengklasifikasikan masyarakat, kelompok, suku ataupun ras.
Harus diingat, berbahasa itu selalu bersifat publik, artinya bahasa selalu tumbuh bersama di tengah masyarakat. Jadi, kita tidak boleh semaunya dan seenaknya menyampaikan sesuatu atau memberi makna dan memahami kata apalagi memaksakan makna sesuai yang dikehendaki tanpa melalui proses pengenalan konteks pembicaraan.
Dengan kata lain, bahasa merupakan cermin paling transparan terhadap keadaan kita terkina. Dengan kata lain, pilihan kata apa yang dipakai merupakan gambaran ‘perasaan’ kita saat itu. Kalau pilihan kata kita berisi lebih banyak ujaran kebencian atau kata kata sanjugan terhadap seseorang atau sekelompok orang, maka kira kira itulah pendapat kita tentang orang tersebut
Harus diakui, bahasa yang digunakan nitizen di media sosial sering menunjukkan adanya perbedaan identitas, perbedaan pandangan dengan kelompok tertentu. Berbeda pandangan di alam demokrasi merupakan suatu yang wajar. Kelompok kelompok ini sering berbeda pandangan dalam kasus kasus tertentu. Mereka saling ‘serang’ untuk ‘mengalahkan’ lawan yang menyebabkan dan mengalami ‘kekeringan perasaan’, berbahasa untuk membuat perasaan kelompok tertentu emosional. Ini penyalahgunaan fungsi bahasa yang digunakan di media sosial.
Sangat disayangkan ‘perang kata kata’ ini menjerumuskan kita kedalam ‘pekerjaan yang sia sia. Padahal, bahasa itu adalah representasi suatu bangsa, baik burukya suatu bangsa terindikasi dari seberapa jauh bangsa itu merawat dan memperhatikan bahasa, karena baiknya bahasa akan sangat berpengaruh pada baiknya peristiwa sosial yang terjadi dengan bahasa sebagai isntrumennya.(Munsyi dan Alif, 2005: 76)
Pemakaian bahasa di media sosial lambat laun mengubah cara kita berbahasa dan berkomunikasi dengan orang lain.
Bahasa yang kita pergunakan hingga saat ini secara konstan bertransformasi dan beradaptasi terhadap keperluan penggunanya (Chomsky, 2014). Keberadaan dan komunikasi media sosial tidak terelakkan dan membuat bahasa menjadi primadona dalam menyampaikan pesan. Apalagi di era digital, proses penggunaan bahasa dipengaruhi oleh perangkat teknologi yang digunakan.
Oleh karena itu, waktunya kita akhiri ‘perang kata kata’ yang tidak produktif di media sosial, yang hanya menambah beban hidup, membuat silaturrahmi terputus hanya gara gara mempertahankan identitas ‘semu’. Mulailah menyisip ke komentar kita dengan bahasa yang enak didengar, bahasa yang memberi inspirasi dalam kehidupan. Yakni bahasa yang memiliki kesantunan. Kesantunan adalah alat untuk menciptakan dan menjaga struktur masyarakat yang hirarki dan elitis dan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan perbedaan-perbedaan sosial.
Dalam hal ini, kesantunan menjadi cara yang sangat efisien untuk menertibkan masyarakat (Dowlatabadi, Mehri, & Tajabadi, 2014). Kesantunan memainkan peran yang penting untuk menjaga hubungan dan menjaga kehormatan seseorang. Kesantunan bisa dikatakan bersifat universal karena merupakan hal yang lazim di berbagai bahasa dan negara meskipun penerapannya berbeda-beda (Duleimi, Rashid, & Abdullah, 2016).
Berbahasa akan lebih indah jika bila bahasa yang digunakan bisa menggembirakan semua pihak. Mari kita mulai!
(Penulis adalah seorang pendidik di Madrasah)