Oleh: Amri Ikhsan
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyatakan, pihaknya masih terus melakukan pengkajian terkait penerapan kembali ujian nasional (UN) bagi para siswa di sekolah. Belakangan, muncul wacana untuk mengembalikan UN sebagai standar kelulusan (Kompas).
Sebenarnya, UN (Ujian Nasional)) resmi ditiadakan oleh pemerintah sejak tahun 2021. Tidak ada lagi patokan kelulusan siswa berdasarkan nilai UN di semua tingkat pendidikan mulai dari SD, SMP, hingga SMA. Kelulusan siswa ditentukan oleh evaluasi yang diseleggarakan oleh sekolah dan kelulusan berdasarkan keputusan rapat dewan guru.
Ada pihak yang berpendapat, ketidakhadiran UN dinilai banyak pihak telah menurunkan kualitas dan motivasi belajar siswa. Dilain pihak, berpendapat Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu langkah mundur. Setiap siswa memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Bisa saja siswa tidak begitu paham dengan mata pelajaran yang diujikan diuji dalam Ujian Nasional (UN), namun mereka memiliki kecerdasan dalam olahraga, seni, dan lain sebagainya (Kumparan).
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam urusan ujian akhir, UN memang sudah bertransformasi berkali-kali. Awalnya dinamakan Ujian Penghabisan (1950-1964) dan soal-soal Ujian Penghabisan kala itu disusun oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Berubah nama menjadi Ujian negara pada periode 1965-1971. Ujian Negara ini dijadikan penentu. Siswa yang lulus dapat lanjut pendidikan ke sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri. Dan yang tidak lulus tetap memperoleh ijazah dan dapat melanjutkan ke sekolah atau perguruan tinggi swasta (tirto.id).
Berikutnya dinamai Ujian Sekolah (1972-1979), ujian ini juga menentukan siswa tamat atau lulus. Mereka dinyatakan telah menyelesaikan program belajar pada satuan pendidikan. Seluruh bahan ujian disiapkan oleh sekolah atau kelompok sekolah.
Selanjutnya ujian akhir diganti lagi namanya menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional atau Ebtanas (untuk mata pelajaran pokok) dan Ebta (untuk mata pelajaran non-Ebtanas) pada periode 1980-2002. Siswa yang lulus memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). (detik.com)
Periode 2003-2004, dikenal dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN) dan baru menjadi Ujian Nasional (UN) yang dalam pelaksanaannya berkali-kali menuai kritik sebelum resmi dihapus pada 2021. POS (Prosedur Operasinal Standar) UN ini berubah disetiap tahun penyelenggaraan. Ada yang kelulusan dipatok dengan angka tertentu mulai dari minimal rata rata 3,5 sampai 5,00.
Diawali dengan paper and pencil (pakai kertas) sampai dikomputerisasi, Mulai dari satu paket soal, UN dua paket, UN lima paket sampai UN 20 paket soal. Mulai dari soal UN yang disimpan di satuan pendidikan sampai disimpan dalam ruang tahanan kapolsek terdekat. Mulai dari kode manual sampai dengan barcode. Mulai dari pengawasan secara internal sampai pengawasan independent dari PT. Mulai dari hanya sebagai pemetaan sampai nilai UN untuk dijadikan syarat masuk PT.
Kalau UN masih menggunakan format terdahulu sebagai penentu kelulusan siswa, hanya menguji 3-5 mata pelajaran, nilai rata rata kelulusan ditetapkan dengan minimal angka tertentu, tentu sistem ini dipandang diskriminatif dan akan menambah beban psikologis siswa. Hal yang sangat merugikan hasil belajar enam tahun di SD/MI atau tiga tahun SMP/MTs, SMA/MA hanya ditentukan masa depannya oleh tiga hari pelaksanaan ujian dan oleh mata pelajaran tertentu..
Di sekolah tertentu, dibentuklah tim sukses yang tugasnya mencari ‘akal’ bagaimana siswa peserta UN lulus. Ini sebagi bentuk ketakutan, kecemasan dan kepanikan massal. Semangat belajar siswa memang tinggi karena tekanan ingin lulus dan semangat guru mengajar juga meningkat dengan metode menghafal ketimbang memahami materi pelajaran.
Ada bebarapa alasan mengapa Ujian Nasional (UN) tidak perlu diadakan, atau setidaknya kurang efektif sebagai metode evaluasi tunggal dalam sistem pendidikan:
pertama, UN membuat guru mengalihkan proses pembelajaran yang produktif ke aktifitas pengajaran yang memfokuskan pembelajaran pada pengenalan bentuk soal UN, dan strategi menjawab soal dalam waktu singkat. UN cendrung mengabaikan mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN, padahal mata pelajaran itu sangat penting dalam kehidupan sehari-hari pasca siswa tamat. Untuk apa belajar Penjas, Sejarah, PKn, PAI, dsb, yang menentukan kelulusan pastilah diujikan pada UN.
Kedua, rasa malu, sekolah dan pihak terkait masih malu apabila rangking sekolah itu berada dipapan bawah. Dan sewaktu satuan pendidikan belum bisa meluluskan siswanya, tentu saja berdampak pada siswa yang akan mendaftar ke sekolah tersebut. Tentu siswa dan orang tua akan mempertimbangkan persentase kelulusan UN dalam memilih sekolah.
Bagi sekolah kuantitas siswa sangat penting dalam urusan dana BOS. Saat banyak siswa yang mendaftar maka tentu akan ada hal positif dalam proses perjalanan sekolah. Karena dana bantuan dari pemerintah seperti BOS bergantung dengan jumlah siswa. Selain itu adanya kebijakan sertifikasi bagi guru sangat membebani dalam hal mendapatkan jumlah jam yang memenuhi 24 jam per minggu dan jumlah siswanya sedikit. Karena bagi sekolah yang siswa nya sedikit, akan sangat sulit untuk memenuhi kewajiban itu.
Ketiga, bagi siswa dan orang tua, ketidaklulusan UN merupakan sebuah aib, orang akan ingat sampai 7 keturunan bahwa dia pernah tidak lulus UN. Dia akan digelari orang yang tidak pintar, tapi sebenarnya dia tidak bodoh tapi belum beruntung dalam menjawab soal UN.
Mereka akan merasa sangat malu bila nama mereka tidak termasuk yang berhasil lulus dalam daftar pengumuman. Orang tua tentu merasa resah saat UN, bukan hanya karena mereka takut malu dengan keluarga, tetangga dan teman-teman tapi juga karena mereka sudah banyak mengeluarkan biaya.
Keempat, Ujian Nasional (UN) biasanya hanya mengukur kemampuan kognitif dan hal akademis siswa dalam mata pelajaran tertentu saja. UN tidak bisa menilai kreativitas, kemampuan berpikir kritis, mandiri, bertanggung jawab dan serta kerja sama sering kali tidak tercermin dalam ujian ini. Fokus utama proses pembelajaran hanya persiapan ujian semata sehingga menghambat pengembangan potensi siswa secara menyeluruh.
Kelima, penekanan pembelajaran terfokus pada hasil akhir bukan proses pembelajaran, padahal hasil akhir bukan tidak mencerminkan karakter, kepribadian, akhlak dan kompetensi siswa. Keenam, akhirnya UN menambah tekanan mental bagi siswa, begitu juga guru. Banyak siswa, guru bisa jadi kepala sekolah stres menghadapi UN, karena ujian ini serin dianggap sebagai penentu nasib mereka di masa depan. Jangan heran ketiga pihak ini mengalami kecemasan yang berlebihan.
Benar, UN membuat motivasi belajar siswa ‘meningkat tajam’. Semangat belajar siswa berubah, berubah menjadi ‘pemburu’ nilai tinggi dan semangat guru mengajar juga berubah, berubah menjadi ‘tukang sulap’ yang ingin menyulap siswa menjadi pintar sesaat hanya untuk UN. Semangat kepala sekolah juga berubah, ingin mendapatkan prestise dari masyarakat tentang keberhasilannya dalam meluluskan siswa 100 persen.
Kalau begitu wajar ada yang menulis UN adalah sistem pendidikan tanpa pendidikan. Wallahu a'lam bish-shawab!
(Penulis adalah Pendidik di Madrasah)