Guru Anti-Mainstream Selama Pandemi

Penulis: Redaksi - Jumat, 08 Januari 2021 , 12:18 WIB
Amri Ikhsan
Istimewa
Amri Ikhsan

Oleh: Amri Ikhsan

Guru adalah tulang punggung pendidikan. Maju mundurnya Sekolah dan madrasah, sangat tergantung pada kinerja dan profesionalisme para guru. Sebaik-baik input calon siswa sekolah/madrasah jika didampingi para guru yang sebenarnya, dipastikan tidak akan mampu membuat siswa berprestasi, cerdas dan berkarakter.

Guru tidak sekedar harus memiliki ilmu pengetahuan ‘tinggi’ dengan sederet gelar dan telah mengikuti diklat ‘kesana kemari’, tapi juga harus mampu berpikir ‘melenceng’ dari kebiasaan untuk menghasilkan inovasi baru yang menantang para siswa. Itulah guru anti-mainstream, guru yang mau berpikir out of the box.

Yang utama yang harus dimiliki guru antimainstream adalah perasaan superior. Merasa bangga menjadi guru, berkemampuan bisa berbuat lebih dari profesi lain. Guru harus punya keberanian untuk menunjukkan ke public bahwa kemampuannya tidak hanya çeramah’ di depan kelas tapi punya kemampuan inovasi dan kreativitas untuk memperkaya khasanah pembelajaran. Guru itu tidak boleh merasa inferior, marasa terhina dengan pekerjaannya sebagai guru.

Guru harus menyadari bahwa dia tidak akan lahir secara genetik tanpa proses pembinaan. Cara Stillings Candal dari Pioneer menegaskan “Great teachers aren’t born, great teachers are made.” Guru yang besar tidak dilahirkan tapi diciptakan, guru yang mau belajar. Menjadi guru itu tidak gampang, perlu proses panjang dan berliku liku.

Masuk kelas, mengajar, ceramah, kasih tugas, keluar kelas. Terus seperti itu aktivitasnya. Itu bukan guru yang sebenarnya (truly teacher). Hanya sekadar menggugurkan kewajiban, sesungguhnya itu pelan-pelan menutup kemampuan kreativitas bagi seorang guru. Mungkin ini penyebab Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dinilai siswa dan orang tua sebagai sesuatu yang membosankan, tidak ada inovasi, itu itu saja.

Siswa akan cepat sekali merasa bosan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Jangankan siswa, guru juga sebenarnya merasa bosan mengajar, lelah karena rutinitasnya itu-itu saja, dan bahkan sampai tidak bergairah masuk ke kelas. Itu proses pembelajaran dari guru yang biasa-biasa saja. Karena menjadi guru bukanlah pekerjaan yang main-main!

Menjadi guru merupakan profesi yang mulia, kemuliaan seorang guru terlihat dari kesungguhan, keseriusan, dan ketulusan ketika mengajar siswa-siswanya. Amanahnya berat, yaitu menjaga atau memelihara kecerdasan dan akhlak siswa. Untuk menjadi seorang guru yang tidak biasa dengan kemampuan di atas rata-rata guru lainnya, guru harus berpikir ‘diluar kotak’ sekaligus anti-mainstream.

Guru harus keluar dari kebiasaan biasa dengan mengembangkan diri dengan think of the box, bagaimana berpikir diluar kebiasaan untuk menciptakan gagasan diluar kebiasaan yang ada untuk memperkaya proses pembelajaran yang bisa mengilhami siswa untuk semangat belajar.

Tidak ada jalan lain, guru harus berani mengambil keputusan untuk keluar dari ‘kotak’ tersebut, zona aman yang dimiliki, maka barulah hal-hal baru, inovasi, pengalaman, dan keberhasilan baru yang tidak terbayangkan bisa menghampiri diri guru.

Berbeda dengan guru yang berpikir di dalam kotak atau in of the Box. Guru seperti ini lebih suka menjadi pengikut, tidak suka yang aneh-aneh, sesuai standar, dan biasa-biasa saja. Tidak pernah mencoba suatu menghasilkan suatu gagasan yang baru, pokoknya semua sesuai dengan apa yang ada dan disepakati.

Memang, setiap orang cenderung menikmati dan terbuai akan zona aman yang sudah dimilikinya pada saat ini, bagi guru, ini merupakan ‘penyakit kronis’ yang harus dibasmi yang akan menjadi penghalang dari sebuah inovasi. Karena pada saat seseorang menikmati posisinya di dalam kotak yang ia anggap sudah sangat nyaman, tertutup ‘hatinya’ untuk menemukan peluang dan terobosan yang akan melenjitkan motivasi siswa untuk belajar.

Berpikir di luar kotak artinya berpikir berbeda dengan yang lainnya. Yang dilakukan adalah ‘menjungkir balikkan’ kebiasaan yang selama ini dilakukan. Selalu mencari jalan lain yang dianggap benar tanpa melanggar aturan resmi yang sudah ditetapkan. Yang terpenting adalah tujuan yang sudah direncanakan bisa tercapai.

Guru anti mainstream tak mudah terpengaruh oleh pemikiran orang lain, dia selalu berusaha untuk mencari cara paling efektif dengan hasil yang positif. Mencari jalan lain yang -mungkin- tak terpikirkan oleh kebanyakan orang, yakni cara efektif yang bisa menghasilkan lebih banyak namun mudah untuk dilakukan.

Guru anti mainstream mampu berpikir kreatif, fleksibel dan imajinatif. Dia mampu menciptakan hal-hal baru dari kekuatan imajinasinya. Guru-guru yang bisa disebut kreatif mempunyai daya imajinasi, dimanapun berada, biasa mengeluarkan ide secara spontan. Saat melihat suatu hal, akan dilihat secara mendetail yang kemudian bisa memunculkan imajinasi dan ide-ide baru.

Salah satu tanda yang paling bisa diamati dari guru yang berpikir di luar kotak adalah memiliki banyak sudut pandang ketika menentukan sebuah pilihan. Kemampuan melihat dari banyak sudut pandang ini tak lepas dari pengalaman dan kebiasaan yang sering melihat suatu hal secara “berbeda”. Mencerna sesuatu dari banyak sisi yang kemudian disaring menjadi sebuah ide baru yang cemerlang, inilah keahlian guru yang berpikir out of the box.

Albert Einstein pernah mengatakan bahwa suatu permasalahan itu tidak akan pernah dipecahkan jika kita menggunakan pola pikir yang sama ketika masalah itu diciptakan. Berinovasilah dan teruslah berubah karena sesungguhnya zaman itu terus berkembang dengan segala masalah-masalah yang tidak bisa diperbarui dengan cara lama.

Untuk itu, memberdayakan guru adalah dengan menjadikan guru anti mainstream, dengan menghindari kebiasaan umum, perilaku umum, hal yang biasa, hal yang lumrah, dan sesuatu yang memang sudah nampak wajar dan tidak aneh. Kemudian beralih ke anti mainstream, anti terhadap hal yang biasa/umumnya.

Guru anti-mainstream akan memulai tugasnya dengan 1) siswa adalah teman, bukan objek ajar; 2) siswa itu bisa jadi guru, tidak usah diceramahi panjang lebar; 3) biarkan siswa berbuat salah, dan jangan menyalahkan siswa dalam konteks apapun, beri saja penjelasan, siswa akan otokoreksi; 4) latihan dulu, baru belajar; 5) PR diberikan diawal bukan diakhir; 6) belajar 10%, ‘main main’ 90%; 7) siswa jangan dinilai apalagi pakai angka.

Bisa juga dicoba: 1) belajar dalam kegiatan observasi dan pengamatan yang banyak dilakukan di luar kelas; 2) belajar tanpa namanya rapor dengan nilai-nilai angka 1-10. Yang ada hanya rapor berisi perkembangan anak didik; 3) kelas diselenggarakan dengan cara lesehan; 4) yang agak keren, sistem pembelajaran dilakukan dengan berbasis pada riset atau penelitian agar daat memancing minat dan rasa ingin tahu para siswanya

Atau: 1) tidak ada sekat antar kelas, tidak ada pembagian kelas, belajar di ruang besar; 2) siswa yang membuat rancangan belajar selama di sekolah; 3) tidak ada yang namanya ujian, mengatur jadwal masuk kapan saja sesuai keinginan.

Memang agak aneh, Wallahu a’lam bi al-Shawab!

(Penulis adalah Pendidik di Madrasah)



PT. Jernih Indonesia Multimedia - Jernih.ID