Integritas berasal dari bahasa Latin integer yang berarti utuh, menyeluruh, atau tidak tercela. Integritas diartikan sebagai kesesuaian antara perkataan dan perbuatan; satunya kata dan perbuatan. (Kemen PANRB, 2011). Dalam konteks etika profesi, integritas dipahami sebagai kesatuan antara pikiran, ucapan, dan tindakan yang konsisten dengan nilai moral dan kebenaran (Mulyasa, 2013).
Seseorang yang berintegritas biasanya bisa menjaga harga diri, martabat, dan wibawanya, tahan terhadap berbagai macam godaan karena dia sadar hal tersebut bisa menjerumuskannya kepada kehinaan (Apandi, 2015). Sering sekali, kata “berintegritas” berhenti pada pengakuan diri, sekadar pernyataan tanpa uji realitas sosial. Padahal, integritas sejati tidak lahir dari pengakuan diri atau dokumentasi administratif.
Carter (1996) dalam bukunya Integrity, mendefinisikan integritas melalui tiga tahap kritis: 1) mengetahui yang benar dan yang salah (discerning what is right and wrong); 2) bertindak berdasarkan apa yang diyakini sebagai hal yang benar (acting on that discernment); 3) terus terang menyatakan bahwa Anda bertindak berdasarkan keyakinan Anda (saying openly that you are acting on your understanding of right from wrong).
Pada hari-hari ini banyak individu atau institusi mendeklarasikan atau ditunjuk sebagai seorang ‘agen perubahan’ dan lembaga berintegritas. Mereka mulailah berbenah, menyusun strategi supaya kelihatan ‘berintegritas’. Bagi agen perubahan, mereka biasanya memakai ‘selempang’ yang bertuliskan agen perubahan, dan bagi institusi biasanya memasang baliho atau spanduk bertuliskan ‘zona integritas’.
Harus diakui bahwa kadang-kadang kita terjebak dalam "komodifikasi integritas", di mana integritas direduksi menjadi selembar sertifikat, piagam (Nasir, 2025), berbagai macam laporan, SK, surat tugas, pakta integritas atau dokumen lainnya. Dan tidak lupa memamerkan dan memajang dokumen sebagai bukti administratif. Seolah-olah integritas berupa dokumen yang bisa diklaim, difoto, dipamerkan, atau diupload.
Ini relevan dengan pendapat Lickona (1991) yang mengatakan bahwa moral knowing without moral doing, memahami nilai moral, tetapi tidak mewujudkannya dalam tindakan nyata. Sangat dikhawatirkan, klaim integritas yang bersifat deklaratif justru berisiko menjadi bentuk “kemunafikan moral” (moral hypocrisy), yaitu berpura-pura baik tanpa kejujuran dalam tindakan (Batson, 2008) atau dokumen tidak selalu mencerminkan realitas moral.
Sebenarnya, integritas bukanlah apa yang kita katakan atau tunjukkan tentang diri kita, melainkan apa yang orang lain rasakan dan akui tentang apa yang sudah dilakukan. Covey (2004) menjelaskan bahwa integritas bukan hanya kejujuran, tetapi komitmen untuk melakukan hal yang benar bahkan ketika tidak ada yang melihat. Seseorang berintegritas tidak perlu menyatakan diri “berintegritas”, karena integritasnya terlihat dan dirasakan oleh orang lain melalui perilaku dan keputusan yang diambil secara konsisten.
Di institusi pendidikan, guru dan tenaga pendidikan berintegritas bukan yang sekadar menandatangani “pakta integritas”, tetapi yang dikenal oleh murid dan masyarakat sebagai sosok yang konsisten antara ucapan dan tindakan. Penelitian oleh Hoy dan Tarter (2004) menegaskan bahwa iklim etis sekolah terbentuk bukan oleh deklarasi kebijakan, melainkan oleh keteladanan moral guru dan kepala sekolah. Ketika pemimpin dan guru mempraktikkan kejujuran dan keadilan dalam tindakan sehari-hari, budaya integritas akan tumbuh secara alami.
Integritas guru bukan terletak pada banyak dokumen yang dimiliki, tapi ini divalidasi oleh: 1) murid: Apakah mereka merasakan dididik atau diajarkan dengan sebenarnya, apakah mereka merasa keadilan dalam penilaian? Apakah mereka melihat guru konsisten dengan aturan yang dibuat? Apakah mereka percaya bahwa ilmu yang diberikan tulus untuk masa depan mereka?
Kemudian dari: 2) orang tua: Apakah mereka menyaksikan anak mereka benar-benar belajar di rumah dampak dari pembelajaran guru? Apakah mereka merasakan anak mereka sudah berperilaku baik, apakah anak mereka sudah menghormati dan menghargai orang tua?; 3) kolega: Apakah mereka terbantu dengan kehadiran guru itu? Apakah mereka merasakan konsistensi guru itu dalam mengambil keputusan?
Pengakuan ini bukan berupa piagam, atau hadiah tetapi diberikan dalam bentuk kepercayaan, penghormatan, dan keikhlasan yang melekat pada guru itu. Bagi guru, berfokus pada dampak, bukan pencitraan, tugas guru, menceritakan bukan tentang "siapa dia", tetapi tentang "apa yang dia lakukan dan apa dampaknya bagi orang lain". Dia tidak akan mengatakan: "Saya guru yang berintegritas", tapi dia lebih memilih berbagi cerita tentang perubahan sikap seorang murid yang dibimbing.
Guru yang berintegritas selalu membuka diri untuk dievaluasi, dia tidak keberatan untuk mengundang pihak ketiga, seperti auditor, peneliti, LSM pendidikan untuk menganalisis, mengkaji dan menilai kinerjanya. Dia juga meminta pihak ketiga untuk menialai testimoni dari ‘pengguna’ layanannya seperti kepala sekolah, teman sejawat, orang tua murid dan masyarakat sekitar.
Dilain pihak, integritas guru biasanya bermula dari mulut ke mulut atau Word-of-Mouth (Arwildayanto). Reputasinya tidak terbentuk dari pangkat dan golongan, berapa banyak pelatihan yang diikuti, berapa banyak tugas tambahan yang dibebankan, berapa tebal sertifikat yang dimiliki, tetapi dari bisik-bisik positif di antara sesama guru, orang tua, dan murid. Ini adalah bentuk validasi yang jauh lebih kuat daripada sertifikat.
Bagi individu atau institusi, integritas idealnya tidak dilihat dari seberapa lantang menyatakan dirinya berintegritas, tetapi dari pengakuan diam-diam (silent recognition) masyarakat terhadap perilakunya. Validasi eksternal inilah yang menunjukkan nilai autentik seseorang atau lembaga. Prinsip krusial dalam integritas adalah bahwa ia bersifat eksternal (MA RI, n.d.). Pengakuan ini merupakan akumulasi dari pengamatan dan pengalaman pihak eksternal terhadap layanan atau interaksi yang diberikan.
Integritas serupa cuaca, begitu kata Stephen L. Carter (1999:8). Semua orang membicarakannya, tetapi mereka tidak tahu akan apa yang dikerjakannya kemudian. Oleh karena itu, guru mestinya konsisten dalam berkomitmen dalam pembelajaran pada nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab dalam proses belajar mengajar, yang mencakup kejujuran dalam mengerjakan tugas, keadilan dalam penilaian, dan tanggung jawab atas tindakan diri sendiri, baik oleh siswa maupun pendidik.
Bagi Pendidik, integritas berarti memberikan penilaian yang objektif tanpa diskriminasi, tidak mau mengubah nilai walaupun diberi imbalan, dan tidak membeda-bedakan murid, konsisten memberikan pembelajaran berkualitas, mendidik dengan berkesadaran, bermakna dengan strategi dan materi yang menarik, menjadi ‘role model’ dalam keteladanan dengan menjunjung nilai moral, berkomunikasi santun, kata-katanya penuh inspiratif, motivatif dan supportif.
Dan yang harus dihindari, tidak mau mengambil jalan pintas, misalnya dalam indikator akreditasi, penilaian kinerja yang "wah" dan angka kelulusan yang tinggi atau meningkatkan nilai beberapa murid menjelang rapor akhir agar sekolah terlihat “berprestasi” saat akreditasi. Kemudian, kehadiran dan perilaku guru yang tidak profesional sering terlambat, meninggalkan kelas tanpa alasan, atau tidak menyiapkan materi ajar dengan serius menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab dan ditambah dengan menunjukkan favoritisme kepada murid tertentu.
Deklarasi diri dan pendekatan dokumenter hanyalah kulit luar, dan yang paling dinanti adalah layanan prima yang dirasakan oleh pihak ‘pengguna’. Wallahu a'lam bish-shawab!
(Penulis adalah Pendamping Satuan Pendidikan)