Amri Ikhsan Hari-hari menjelang berakhirnya bulan Ramadhan merupakan hari-hari yang paling menyibukkan buat Samsiar, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Kebon Handil, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi. Selama dua pekan ini, ibu tiga anak ini telah sibuk ‘bertualang’ di setiap mall dan pusat perbelanjaan di kota Jambi.
“Anak sayo nangis mintak dibeliin baju baru, kasian dio kalu lebaran dak pake baju baru”, dalihnya. “Susah memang nyari baju yang cocok untuk anak sayo, kalu ado yang cocok, pasti hargonyo mahal, pening kepalak”, keluhnya.
Bagi Samsiar, membeli baju untuk ketiga anaknya bukanlah pekerjaannya satu-satunya. “Buat kue”, tambahnya. “Kue padamaran, kue semprong, kue kembang loyang”, jelasnya. “Dak enaklah, kalau orang-orang datang ke rumah kito, dak katik kue” , tambahnya. “Ado sikok lagi, sayo nak buat lontong untuk hari pertamo lebaran”, tambahnya lagi.
Itulah sebagian potret kondisi umat Islam Indonesia kala menyambut Idul Fitri. Orang-orang sibuk dengan jalan-jalan ke pasar atau ke mall membeli baju baru, dan buat kue. Jamaah shalat tarawih di masjid atau mushola sudah mulai sepi, sementara pasar dan pusat-pusat perbelanjaan tumpah ruah. Hampir setiap pusat perbelanjaan penuh sesak dengan ‘kaum muslimin dan muslimat’ menghabiskan sisa-sisa hari bulan Ramadhan.
Mereka ‘bertadarusan ria’ dengan memilih baju-baju yang mau dibeli. Tentu saja yang namanya belanja, membuat kue dan makanan lebaran, waktunya tidaklah sebentar, pasti lama. Yang jelas, jika sibuk ngurusin belanja dan buat kue lebaran, orang akan terlupa dengan ibadah Ramadhannya. Apalagi memburu malam lailatul qadar. Bukannya makin khusyu dalam sujud panjang dimalam-malam akhir ramadhan, meng-khatam-kan Al-qur’an, umat Islam malah tenggelam dalam arus hingar-bingar penyambutan lebaran yang bersifat duniawi.
Menjelang akhir Ramadhan, Rasulullah beserta para sahabat, juga generasi terbaik umat Islam selanjutnya, justru mengetatkan ikat pinggang untuk beribadah kepada Allah SWT. bukannya kelayapan di mall atau tenggelam dalam urusan membuat kue. Mereka benar-benar tak ingin melewatkan satu detik pun tanpa ibadah, shalat lail, tartil qur’an, dzikir maupun istighfar kepada-Nya. bukan dengan melakukan pemborosan waktu dan aktivitas tanpa makna.
Sebenarnya, esensi dari berpuasa adalah pengemblengan dan latihan untuk menghadapi 11 (sebelas) bulan berikutnya, bukan hanya untuk menghadapi ‘satu hari raya saja’. Sebenarnya, secara normatif, lebaran merupakan tanda ungkapan syukur, tanda telah genap dan sempurnanya jumlah hitungan hari puasa dan sebagai bentuk pengagungan atas nama Tuhan. Al Qur’an sudah menggariskan, “dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur (Q.S. 2:185)”
Realitas Lebaran
Satu hal yang begitu menggelisahkan hati ketika berbicara tentang realitas lebaran adalah bahwa lebaran telah mengalami pergeseran dan “pengkorupsian” makna yang begitu jauh dari hakekat awalnya.
Hari raya fitrah adalah hari untuk mengakhiri ibadah bulan Ramadhan. Tetapi sebagian umat Muslim cenderung memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai “bulan menabung”. Menabung semua kebutuhan fisik lahiriah semata dengan melengkapi dengan yang baru: beli baju baru, rumah dicat baru, semua interior rumah dicuci atau diganti dengan yang baru, buat aneka macam kue. Tapi, sayang sekali, kesemuanya itu tidak dinikmati dalam bulan Ramadhan tetapi semua ‘nunggu’ hari lebaran.
Jelas sekali, orientasi orang orang ini sangat duniawi. Seharusnya yang baru sejak hari raya adalah sikap, prilaku hidup berubah kearah yang lebih baik. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah menyatakan: untuk melihat berhasil atau tidaknya puasa yang dilakukan seseorang hanya dapat dipantau ketika puasa telah usai. Jika perilaku yang bersangkutan berubah ke arah yang lebih baik dari sebelumnya -usai menjalankan puasa- maka dapat dikatakan bahwa puasanya berhasil. Pun demikian sebaliknya.
Dengan demikian telanjang, lebaran kita tidak lebih dari sebuah proses konsumsitivisme untuk mendukung prestise dan gengsi sosial seseorang. Nilai lebaran diukur dari tingkat kemahalan serta model baju koko yang dikenakan, juga dari jilbab model apa yang dipakai. Pada hari lebaran, kita akan saksikan “peragaan busana akbar” dimana setiap Muslim dan muslimat yang keluar rumah memakai busana baru “dari ujung kepala sampai ke ujung kaki”.
Pesan Moral Idul Fitri
Setelah kita meninggalkan bulan Ramadhan, bulan penyucian ruhani, hari selanjutnya tugas kita semua adalah “memikul beban berat” untuk mempertahankan kesucian itu. Selama sebulan penuh, Allah SWT menyaksikan kita bangun di waktu dini hari dan mendengarkan suara istighfar kita.
Alangkah malangnya bila setelah hari ini, terlihat kita tidur lelap bahkan melewati waktu subuh begitu saja. Bila selama sebulan bibir kita bergetar dengan doa, zikir, dan membaca Al-qur’an, maka celakalah kita bila kita gunakan bibir yang sama untuk mengungkapkan hal yang tidak bermakan (unfaedah).
Kita pantas cemas memikirkan hari-hari sesudah hari-hari sesudah hari raya idul fitri. Kita patut berhati-hati menjaga diri setelah bulan penyucian diri berlalu. Rasulullah saw. sering merintih memohon ampun, padahal ia adalah manusia yang disucikan. Ia adalah insan yang sudah mencapai kesempurnaan.
Diharapkan setelah keluar dari masjid melaksanakan shalat Id’, kita akan kembali ke ‘fitrah’ seperti bayi : (1) bayi itu sifatnya suci, maka perilaku bayi senantiasa mengundang rasa kasih sayang bagi siapa saja yang memandangnya. (2) bayi itu tidak membeda-bedakan, sekalipun ibunya miskin dan wajahnya jelek si bayi tetap lebih cenderung lengket dengan ibunya daripada dengan orang lain meskipun lebih kaya dan cantik.
Kemudian, (3) bayi itu senantiasa jujur. Dia akan menangis manakala lapar atau haus dan akan diam manakala kenyang. Tidak pernah sebaliknya. (4) bayi tidak punya rasa dendam. Meskipun bayi menangis sejadi-jadinya tatkala ditinggal ibunya untuk suatu keperluan, tetapi begitu ibunya kembali si bayi langsung menyambut kehadiran sang ibu dengan penuh kegembiraan. (5) bayi itu tidak serakah. Bayi hanya makan dan minum sekedar sesuai keperluan. (Pranowo)
Mudah mudahan Allah SWT. mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan tahun berikutnya, Amin!. Selamat Hari Raya Idil Fitri 1443 H. Mohon maaf lahir batin.
(Penulis adalah Pendidik di Madrasah)