Terapi Linguistik di Saat Pandemi

Penulis: Redaksi - Senin, 02 Agustus 2021 , 20:14 WIB
Amri Ikhsan
Dok Amri Ikhsan
Amri Ikhsan


Oleh: Amri Ikhsan

Pemerintah pusat mencatat ada 14 provinsi di luar Jawa dan Bali yang memiliki angka keterisian tempat tidur isolasi rumah sakit (RS) di rentang 50-80 persen. Kondisi ini tentu menjadi warning bagi provinsi-provinsi tersebut untuk mengantisipasi adanya lonjakan jumlah pasien ke depannya. (Republika)

Pandemi Covid-19 tidak hanya mengganggu kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental. Tidak hanya rasa cemas, efek psikososial yang ditimbulkan bisa berdampak serius: dikucilkan masyarakat, orang ‘tidak mau’ mendekat, bersalam, berbicara, dll.

Perlu disampaikan, masyarakat diminta tidak melakukan tindakan diskriminatif atau pengucilan terhadap pasien maupun keluarga pasien yang terpapar Covid-19. Hal ini bisa menambah beban dan dampak psikis bagi mereka.

Stigma negatif pada saat covid-19 terjadi pada pasien, ODP, PDP tentu dapat menambah rasa sakit ‘tambahan’. Ada aturan ‘di rumah saja’ dan kebijakan social distancing, tentu menjauhkan hubungan emosional antara keluarga, sahabat, rekan kerja, kolega, teman sepermainan. Biasanya orang orang inilah yang biasanya memberi dukungan moril.

Bagi orang berkecukupan, ini masalah ‘kecil’, tapi sebagian orang akan merasakan tekanan atau beban yang begitu berat, begitu menyiksa. Bila tidak ‘dibantu”, ini akan mengganggu kesehatan mental dan psikososial yang menurunkan produktifitas masyarakat.

Ini penyakit ‘tambahan’, stigma sosial dan diskriminasi sosial yang ‘dikait-kaitkan dengan Covid-19. Harus diambil langkah-langkah strategis untuk menghadapi stigma dan diskriminasi, salah satunya dengan terapi linguistik, berbahasa, berkomunikasi yang menggembirakan dengan orang orang tersebut.

Oleh karena itu, perlu dukungan semua pihak membantu menghentikan penyebaran Covid-19 ini secara massif. Harus diakui bahwa dokter dan tenaga kesehatan sudah bekerja keras tanpa lelah dalam penanganan kasus kasus Covid-19 sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki.

Bagi orang ‘awam’, kita bisa memberi dukungan moril yang bertujuan melindungi atau meningkatkan kesejahteraan psikologis dan/atau mengurangi tekanan kondisi kesehatan jiwa. Dukungan ini bisa disalurkan dengan bahasa, berkomunikasi untuk menaikkan psikososial, berkomunikasi yang menggembirakan dengan pihak yang terganggu dengan Covid-19 ini.

Disadari, manusia terlahir sebagai makhluk sosial. Artinya, setiap individu saling membutuhkan, baik secara personal maupun secara komunal. Kita bisa melakukan interaksi sosial. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi sangat ditentukan oleh keadaan sosial kita. Interaksi sosial dapat dilakukan dengan berbagi informasi yang menggembirakan dengan menggunakan bahasa atau disebut dengan interaksi linguistik. Disaat pandemi, agar komunikasi itu bermakna, kita harus memperhatikan berbagai faktor termasuk status medis seseorang.

Komunikasi yang nyaman dan baik dan menggembirakan akan memunculkan keharmonisan dan kegembiraan. Diyakini ini  dapat menjaga rasa dan meningkatkan psikososial. Keharmonisan dan kegembiraan biasanya nampak pada “wajah atau muka”. Agar proses komunikasi berjalan harmonis dan menggembirakan, tidak salah bila kita memahami konsep “wajah” dalam berinteraksi sosial.

Terapi linguistik di saat pandemi menggunakan media ‘muka atau wajah’ sebagai indikator ‘keberhasilan’. Muka merupakan istilah yang secara emosional tertanam (invested) dan itu dapat dihilangkan, dipelihara, dipertinggi, atau diperhatikan (attended) dalam interaksi. (Levinson (1989). Semakin ceria wajah seseorang dalam berkomunikasi, semakin meningkat imun psikososial dan Inshaallah akan menyehatkan.

Hal itu mengisyaratkan bahwa penyelamatan muka merupakan kebutuhan dasar di era pandemi dan harus menjadi perhatian semua pihak, khusus bagi orang yang sehat secara fisik maupun mental. Penyelamatan muka berarti membuat orang lain ‘tidak malu, tidak tertekan’, kita membantu orang lain untuk melupakan ‘penderitaan’ yang dialami selama pandemi. “Orang sehat” idealnya berinisiatif memulai dan mengajak berkomunikasi yang menggembirakan.

 Disaat pandemi, kebutuhan akan keselamatan muka bagi pihak yang pernah, sedang, suspect, reaktif Covid-19 atau ada keluarga yang pernah, sedang, suspect, reaktif terjangkit Covid-19  merupakan sasaran utama untuk melakukan terapi linguistik.

Muka dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: negatif dan positif. Muka negatif merupakan citra-diri publik yang menginginkan tindakan-tindakannya tidak dirintangi oleh orang lain, sedangkan muka positif merupakan citra-diri publik orang yang menginginkan keberadaanya diperlukan oleh orang lain.

Muka negatif berorientasi pada keinginan untuk (a) independen dalam berbicara atau merespon; (b) memiliki kemerdekaan atau kebebasan bertindak, (c) dihormati, dan (d) tidak dijatuhkan atau diganggu dalam bentuk misalnya dihina; sedangkan muka positif berorientasi pada keinginan untuk (a) diterima, (b) dilibatkan atau diajak berpartisipasi, dan (c) diperlakukan sebagai anggota kelompok yang sama. (Levinson (1989)

Terapi linguistik saat pandemi tidak berfokus pada transaksi konten komunikasi, apakah lawan bicara paham dengan informasi yang disampaikan, tapi lebih kepada fungsi sosial komunikasi, usaha membangun harmoni sosial, kedua belah pihak sama sama senang dan gembira selama berkomunikasi atau sepenuhnya menjaga keharmonisan sosial (phatic communication).

Konsep wajah atau muka yang dimaksud dalam terapi linguistik bisa berbeda beda bergantung pada situasi pembicaraan (Wijana, 2009). Kita harus memperhatikan: Pertama, identitas medis, sosial budaya: Kenali status medis: terpapar, reaktif, suspect, ODP, dll. kalau kita kenal, lanjutkan berkomunikasi yang menggembirakan, tanyakan apa khabar?

Kedua, topik tuturan: 1) jangan bertanya tentang ‘penyakit’: kenapa ‘pucat’, sudah berapa lama terpapar?, Pernah masuk rumah sakit, yaa?, Enak dak kena covid-19”, apa rasanya ‘kehilangan penciuman, dll; 2) jangan sampaikan berita terkini tentang Covid-19: jumlah yang terpapar, pasien yang meninggal, zona merah, orange, Rumah Sakit penuh, dll; 3) sampaikan hal hal positif: banyak yang sembuh, kalau berolah raga, makan makanan yang bergizi dan istrahat cukup, inshaallah cepat sembuh, sakit itu untuk menggugurkan dosa.

Ketiga, perhatikan konteks waktu, situasi, dan tempat: jangan bertanya tentang penyakit mereka ditempat umum, orang ramai. Jangan ‘menggosipkan’ mereka, berbisik-bisik membicarakan penyakit mereka, membanding banding, menambah atau mengurangi penyakit mereka dengan penyakit orang lain atau menghubung hubungkan penyakit mereka dengan keluarga mereka,

Kehidupan orang sakit dapat dipersingkat tidak hanya oleh tindakan, tetapi juga oleh kata-kata (Asosiasi Medis Amerika). Syafakallah syifaan ajilan, syifaan la yughadiru ba’dahu saqaman.” “Semoga Allah memberikan kesembuhan padamu secepatnya dengan kesembuhan yang tiada sakit setelahnya”.

Mari kita bersama sama menerapkan terapi linguistik agar sakit tidak begitu menyakitkan.

(Penulis adalah Pendidik di Madrasah)



PT. Jernih Indonesia Multimedia - Jernih.ID