Konflik Kepsek vs Siswa Berujung Damai: Indahnya Restorasi Justice

Penulis: Redaksi - Sabtu, 18 Oktober 2025 , 16:48 WIB
Prof. Dr. Mukhtar Latif
Dok pribadi
Prof. Dr. Mukhtar Latif


(Belajar dari Kasus SMAN I Banten)

Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif

Konflik Sekolah: Kasus SMAN I Banten

Pada 7 Oktober 2025, di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, seorang siswa laki-laki kelas XI tertangkap merokok di area sekolah oleh kepala sekolah, Dini Fitria. Teguran yang semula edukatif berubah menjadi emosional hingga kepala sekolah menampar siswa tersebut.
Rekaman insiden itu tersebar di media sosial dan viral.
Orang tua siswa melapor ke Polres Lebak, sementara lebih dari 600 siswa melakukan aksi solidaritas membela kepala sekolah. Dinas Pendidikan Banten menonaktifkan sementara kepala sekolah untuk menjaga kondusivitas sekolah.

Melalui mediasi pada 14 Oktober 2025, kedua pihak berdamai secara kekeluargaan. Kepala sekolah menyampaikan permintaan maaf terbuka, dan laporan polisi dicabut. Kasus dinyatakan selesai dengan pendekatan Restorative Justice.
Peristiwa ini menjadi pelajaran nasional bahwa konflik di dunia pendidikan tidak selalu harus diselesaikan dengan penghukuman, melainkan bisa ditempuh dengan pemulihan moral dan sosial. Apalagi mereka masih remaja belia yang masih menemukan jati diri, yang kadang terbawa oleh teman sejawatnya (feer group).

Teori Penegakan Disiplin Sekolah: Mendidik dan Mengajar Secara Humanistik

Disiplin sejati adalah bagian dari pembentukan kesadaran moral (akhlak), bukan alat kekuasaan.
Winn & Winn dalam buku Restorative Justice in Education: Transforming Teaching and Learning (Routledge, 2021, hlm. 47) menegaskan bahwa pendidikan harus menumbuhkan tanggung jawab melalui refleksi, bukan rasa takut.

Pendekatan humanistik mengandaikan bahwa guru adalah pembimbing nilai, bukan pengendali perilaku.

Evans & Vaandering dalam The Little Book of Restorative Justice in Education (Skyhorse, 2022, hlm. 13) menyebut bahwa disiplin yang baik adalah yang “menyembuhkan hubungan dan menghidupkan kesadaran.”

Dengan demikian, penegakan disiplin di sekolah mestinya dilakukan melalui dialog, empati, dan tanggung jawab, bukan dengan ancaman atau kekerasan fisik.

Haruskah Kenakalan Anak di Sekolah Dihadapi dengan Kekerasan Fisik?

Kekerasan fisik sebagai bentuk disiplin telah ditolak oleh berbagai studi.
McClure dalam Corporal Punishment and School Ethics (Oxford University Press, 2023, hlm. 102) menulis bahwa setiap bentuk hukuman fisik “menghapus kepercayaan sebelum membentuk disiplin.”

Bandura dalam Social Learning Theory Revisited (Academic Press, 2022, hlm. 89) menjelaskan bahwa anak belajar melalui peniruan; maka kekerasan dari guru justru menjadi teladan buruk bagi siswa.

Kenakalan siswa adalah ekspresi perkembangan sosial, bukan kejahatan. Karena itu, cara mendidik yang benar bukanlah menghukum, melainkan membimbing dengan kasih dan dialog yang beradab.

Haruskah Penegakan Hukum di Sekolah Selalu Lapor Polisi?

Pelaporan hukum adalah hak warga negara, tetapi dalam konteks pendidikan, restorasi sosial sering kali lebih efektif.

Zehr dalam Restorative Approaches to School Discipline (Herald Press, 2023, hlm. 66) menyebut bahwa penegakan hukum di sekolah tanpa pendekatan moral akan “mendidik dengan rasa takut, bukan dengan kesadaran.”

Penelitian International Journal of Restorative Justice Education (Vol. 5, 2024) menunjukkan bahwa 78% kasus konflik guru–siswa di sekolah-sekolah Eropa berhasil diselesaikan lewat mediasi tanpa proses pengadilan, asalkan kedua pihak bersedia berdamai.

Dengan demikian, restorative justice bukan pelunakan hukum, tetapi pendidikan moral yang menghidupkan kembali tanggung jawab manusia yang berbudaya dan beradab

Makna Hukum dan Disiplin Sekolah: Perspektif Budaya Sekolah

Makna Hukum

Hukum di sekolah adalah pagar moral yang melindungi martabat manusia.
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menjamin setiap peserta didik berhak bebas dari kekerasan fisik dan psikis di lingkungan pendidikan.

Makna Disiplin

Love dalam Discipline That Restores (InterVarsity Press, 2023, hlm. 78) menulis bahwa disiplin sejati adalah “mengajarkan konsekuensi tanpa mencederai harga diri.”
Disiplin bukan sekadar aturan, tetapi proses menumbuhkan tanggung jawab sosial.

Budaya Sekolah

Budaya sekolah adalah sistem nilai yang dihidupi bersama. Sekolah dengan budaya positif menumbuhkan komunikasi, saling percaya, dan keterbukaan.

Ketika budaya sekolah bersifat kolaboratif, guru tidak memerlukan kekerasan untuk menegakkan wibawa dan aturan sekolah. Sebaliknya, budaya yang tertutup dan hierarkis sering kali melahirkan gesekan yang tajam.
Budaya dialog, bukan budaya takut, tetapi indikasi fondasi sekolah yang sehat.

Benturan Budaya Sekolah dan Hukum Perlindungan Anak

Budaya paternalistik lama, yang menempatkan guru dan pimpinan sekolah sebagai otoritas absolut, sering berbenturan dengan hukum modern yang menempatkan anak sebagai subjek yang terlindungi.
Rahman & Dewi dalam Children Friendly School and Legal Protection (UGM Press, 2024, hlm. 55) menjelaskan bahwa sekolah ramah anak adalah lembaga yang menegakkan disiplin tanpa kekerasan, dengan pendekatan pembinaan dan komunikasi.

Benturan budaya ini tampak jelas pada kasus Banten. Kepala sekolah merasa menjalankan tanggung jawab moral, tetapi hukum memandangnya sebagai pelanggaran hak anak.

Restorative justice menjadi jembatan nilai, menghubungkan kearifan lokal “musyawarah dan maaf” dengan hukum modern “perlindungan dan tanggung jawab.”

Belajar dari Konflik di Dunia Pendidikan

Kasus Banten menjadi laboratorium sosial bagi pendidikan nasional.
Nelson dalam The Moral Education Reader (Cambridge University Press, 2023, hlm. 44) menyatakan, “Conflict, when guided, teaches conscience more deeply than silence without justice.”

Artinya, konflik di dunia pendidikan justru dapat menjadi sarana refleksi moral bila dikelola dengan hati.

Pemimpin pendidikan modern harus menjadi manajer nilai dan emosi, bukan sekadar pelaksana administrasi.
Penelitian Journal of Educational Leadership Studies (Vol. 7, 2024) menemukan bahwa kepala sekolah yang mampu mengelola konflik dengan empati meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan.

Sekolah perlu mekanisme resolusi konflik internal, seperti mediasi siswa-guru dan forum etik sekolah, agar masalah moral tidak langsung berubah menjadi masalah hukum.

Restorasi Justice: Solusi Mendidik dan Beradab

Restorative Justice adalah solusi yang mendidik, memulihkan, dan beradab.
Howard dalam Restorative Pedagogy: The New Discipline Paradigm (Springer, 2024, hlm. 22) menjelaskan bahwa restorative justice “memulihkan hubungan sosial yang rusak dengan cara yang bermartabat, bukan menghukum dengan rasa dendam.”

Filosofinya berangkat dari keyakinan bahwa setiap kesalahan dapat diperbaiki tanpa menghapus martabat pelakunya.

Evans & Vaandering (2022, hlm. 13) menyebutnya sebagai educational justice through compassion, keadilan yang diajarkan melalui kasih dan tanggung jawab moral.

Prinsip Restoratif di Sekolah

1. Dialog langsung antara pelaku dan korban untuk memahami dampak moral.

2. Pemulihan hubungan sosial, bukan sekadar pemberian sanksi.

3. Keterlibatan komunitas sekolah agar tanggung jawab menjadi kolektif.

4. Kesepakatan tertulis yang menekankan pembelajaran, bukan pembalasan.

Pendidikan beradab berarti menegakkan keadilan tanpa kehilangan kasih.

Restorative justice mengajarkan bahwa mendidik adalah memanusiakan manusia, bukan menaklukkannya dengan rasa takut, melainkan menyadarkannya dengan nurani.

Penutup

Kasus SMAN 1 Cimarga Banten menunjukkan bahwa konflik di dunia pendidikan bisa diselesaikan dengan cara mendidik dan beradab.
Disiplin tanpa kasih melahirkan luka, dan kasih tanpa disiplin melahirkan kelonggaran moral.

Restorative justice memadukan keduanya: disiplin yang adil, hukum yang manusiawi, dan pendidikan yang memulihkan.

Sekolah masa depan Indonesia harus menjadi rumah kemanusiaan, tempat guru, siswa, dan orang tua belajar menyembuhkan luka sosial dengan dialog dan empati.

Di sanalah pendidikan tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga memuliakan hati.
-----------

 

Daftar Bacaan:

1. Winn, J., & Winn, M. (2021). Restorative Justice in Education: Transforming Teaching and Learning. Routledge.

2. Evans, K., & Vaandering, D. (2022). The Little Book of Restorative Justice in Education. Skyhorse Publishing.

3. Zehr, H. (2023). Restorative Approaches to School Discipline. Herald Press.

4. McClure, A. (2023). Corporal Punishment and School Ethics. Oxford University Press.

5. Love, R. (2023). Discipline That Restores. InterVarsity Press.

6. Nelson, B. (2023). The Moral Education Reader. Cambridge University Press.

7. Rahman, F., & Dewi, N. (2024). Children Friendly School and Legal Protection. UGM Press.

8. Bandura, A. (2022). Social Learning Theory Revisited. Academic Press.

9. Howard, M. (2024). Restorative Pedagogy: The New Discipline Paradigm. Springer.

10. Yusuf, A. (2023). Humanistic Education in Southeast Asia. Brill.

Jurnal:

1. International Journal of Restorative Justice Education (Vol.5, 2024).

2. Journal of Educational Leadership Studies (Vol.7, 2024).

3. Paramita Journal of History and Humanities (2024).

4. Indonesian Journal of Legal Reform in Education (2025).

5. Asian Review of Education and Culture Studies (2023).
-------------



PT. Jernih Indonesia Multimedia - Jernih.ID